Tidak perlu ada politik sastra. Jika ada, sastra akan ternoda oleh kepentingan. Karena, politik pada dasarnya adalah kepentingan, kepentingan kelompok dan kepentingan kekuasaan. Sementara, sastra adalah sebuah ranah seni yang mengedepan keindahan untuk memanusiakan manusia.
Tak perlu ada politik sastra, jika ada, akan membuat para kreator hanya mengebiri karyanya dan menyampingkan kualitas dan idealitas. Sebab politik adalah kepentingan dan perjuangan kelompok-kelompok. Sudikah kiranya dalam ranah sastra yang hidup dari nurani ternyata digerus oleh kepentingan-kepentingan, mazhab-mazhab dan hegemoni?
Sastra adalah sebuah perjuangan ide yang tak perlu ada nuansa politis. Lihatlah, betapa banyak buku sastra diluncurkan lalu tergeletak tak terbaca, karena memang belum mampu menarik minat dan tidak menghentakkan massa ketika ia lahir. Kecuali hasil kreasi para kreator yang sudah punya nama besar dan menjalankan proses penjang tanpa politik sastra. Mereka hanya menjalankan proses alamiah.
Terlepas dari itu, bisa jadi maksud politik sastra adalah sebuah strategi seorang kreator dalam menyelamatkan kreasinya dan mampu mempengaruhi masyarakat pembacanya, maka patut disebutkan, sastra butuh strategi dalam melanjutkan urusannya sebagai sastra.
Adalah wajar, apabila ingin diapresiasikan kreator mengikuti lomba, aktif mengirim naskah ke media massa , ke penerbit, ke dewan juri lomba dan terus terus mengintip kesempatan
.
Berpijak dari kenyataan dan perjuangan seperti ini, akan tampak, siapa yang telah berjuang dengan berdarah air mata dalam berkarya hingga sampai ia sukses pasaran, laku dan diminati. Agaknya, inilah yang membutuhkan kesabaran.
Suatu hari, Gus Tf Sakai pernah menyatakan, bahwa pekerjaan sesungguhnya, sehari-hari ia tak lebih banyak mengkliping dan membaca dari pada menulis.
kualitas yang terus mengalami kemajuan. Dari sinilah nantinya akan tercapai sebuah mimpi setiap kreator. Artinya, tak perlu ada politik praktis dalam melintasi jagat sastra.
Soal kesempatan, memang amatlah sempit dan rumit. Tetapi, dengan demikian akan terasa betapa besar nilainya, jika sebuah karya telah lolos dari “lobang jarum” perjuangannya. Agaknya, nilai kepuasan kreator tetap ada pada cara berjuangnya, bukan hasil perjuangan. Patah dan kecewa adalah permainan dunia. Justru di situlah segala bentuk penempaan kreator untuk mengasah kualitas. Alangkah indahnya sebuah karya mampu melewati badai penjurian, seleksi editor dan redaktur. Sebaliknya, rasakanlah jika hasil karya itu hanya melewati riak gelombang yang tidak begitu menantang. Tentu saja tak terasa sebuah karya yang diingat sepanjang masa.
Ini juga pernah dikatakan oleh Gus Tf Sakai, “Silahkan, mau ikut pasar atau bertahan dengan cara sendiri.” Benar, jika instans tentu saja hasilnya juga instans. Kalau mau bertahan lama, tentu saja resikonya mesti dihadapi. Lamban bertemu dengan muaranya, pasar dan industri. Ya, pasar dan industri memang menggiurkan tetapi apakah itu segalanya? Selain nama besar dan materi yang didapatkan kreator, sastra di tangan
+ komentar + 2 komentar
kenapa meski begitu
takdir kali//
Posting Komentar