Dalam sejarah film Indonesia, prosentasinya barangkali tidak sebesar itu. Meski begitu, film-film Indonesia yang mengadaptasi karya-karya sastra boleh dikata tidak sedikit.
Sebagian besar film-film ini laku secara komersial (seperti Badai Pasti Berlalu, Cintaku di Kampus Biru, dan Karmila), meski jarang berhasil secara estetis (dalam arti memperoleh penghargaan). Dari 20 film peraih Piala Citra sejak 1973-1992 misalnya, dalam penelusuran saya hanya ada 2 film yang diambil dari karya sastra, yaitu Kemelut Hidup (1979) dan Taksi (1990).
Sementara itu, dalam ranah karya sastra islami, sejauh ini hanya ada satu karya sastra yang diangkat ke film yaitu roman Di Bawah Lindungan Ka’bah karya Hamka. Film ini sempat tertahan lama di badan sensor karena judulnya dianggap merupakan kampanye bagi suatu partai politik. Setelah itu, mungkin di antaranya karena faktor politis itu film ini peredarannya tersendat, tidak mengalami sukses secara komersial, dan tak juga memperoleh apresiasi yang memadai dari pengamat film.
Suksesnya komersial film “Ayat-Ayat Cinta” yang diangkat dari novel dengan judul yang sama karya Habiburrahman el-Syirazi baru-baru ini karena itu dapat dipastikan segera akan mendorong gerakan pemfiliman kembali karya-karya sastra, lebih khusus lagi karya-karya sastra islami. Estimasi ini tidak hanya berangkat dari kebetulan sukses itu diperoleh oleh sebuah film yang diambil dari novel islami, tetapi juga kenyataan bahwa kini demikian banyak karya sastra islami tersebut.
Didorong oleh aktivitas sanggar-sanggar penulisan kreatif, baik yang berbasis di kampus, kampung, maupun NGO, kini lahir banyak sastrawan muda, dengan karya-karya sastra mereka, termasuk yang bercorak islami. Dengan berbagai motif, pemfiliman karya-karya sastra islami ini akan menjadi kecenderungan setidaknya dalam 2-3 tahun mendatang.
Novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman yang lain dan Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, serta Bait-Bait Cinta karya Gaidurrahman misalnya, kini sedang dalam proses penulisan skenario dan pengambilan gambar.
Dengan demikian, jika ada minat, kini ada banyak karya sastra islami yang ‘bisa’ untuk difilmkan. Tetapi soalnya, tentu bukan semata ketersediaan dan kelimpahan karya-karya ini, tetapi pada soal adaptasi karya-karya ini ke dalam film.
Sering orang mengatakan: nilailah film sebagai film. Tetapi dalam kaitan film yang diadaptasi dari karya sastra, tak terhindarkan orang, terutama pembaca novel yang difilmkan itu, akan menghubungkan dengan karya novelnya.
Pemfiliman novel pertama-tama harus berhadapan dengan ‘persepsi’ pembaca novel yang telah dulu hadir. Lebih-labih kalau novel itu novel yang laku keras. Tidak setiap adegan atau dialog dalam sastra perlu dan harus tampil di film. Dan jika pun harus tampil, ia perlu strategi adaptasi sesuai kebutuhan medianya sebagai film, dan terutama plot cerita yang dirancang untuk film itu sendiri. Ketika mengangkat Salah Asuhan, pengamat JB Kristanto mempertanyakan adegan dan karakter sombong Hanafi yang baru pulang dari sekolah di luar negeri.
Untuk film dengan basis sastra islami barangkali tingkat kesulitan berikutnya tentu ada pada ajektif ‘islami’ tersebut. Karena ia diambil dari karya sastra yang dianggap ‘islami’ maka karya filmnya pun ‘mesti’ islami. Maka, soalnya bagaimanakah ‘islami’ itu dikonstruksi?
Mengikuti pernyataan Goenawan Mohamad beberapa tahun lampau, sastra keagamaan umumnya mengacu pada dua hal, yaitu menghadirkan kehidupan agama sebagai latar belakang dan agama sebagai pemecah masalah.
Sebagai kasus aktual, Ayat-Ayat Cinta, baik sebagai novel maupun film mengangkat kehidupan keluarga Islam Indonesia di Cairo sebagai latar dan pada saat yang sama menghadirkan Islam itu sebagai pemecah masalah. Nilai-nilai yang dihadirkan adalah nilai yang ideal.
Sukses film Ayat-Ayat Cinta jelas mengikuti sukses novelnya yang terjual ribuan kopi dan tepat waktu ketika film Indonesia dipenuhi tema hantu dan cinta remaja yang cengeng. Tetapi saya khawatir jika kecenderungan melodramatis dan didaktis yang formal seperti ini terus berlangsung, film-film islami hanya akan segera membosankan dan menjadi trend sesaat saja. Seperti film hantu dan cinta cengeng remaja, ia hanya akan jadi film konsumen, dan bukan film prestise.
Dalam sejarah film Indonesia, barangkali kita bisa belajar dan membandingkan dua film bercorak islami –meski tak diangkat dari novel Islami– yang sampai sekarang masih terus dikenang, yaitu Al-Kautsar (1977) dan Titian Serambut Dibelah Tujuh (1983). Kedua film ini, meski bercorak islami, sama sekali tak jatuh dalam khotbah yang verbal dan klise serta hitam-putih.
Berbagai sumber
+ komentar + 5 komentar
template baru..
ini yang kita harapkan bagi produser2 Film kita , agar kita dapat menyimak dalam film tersebut arti dalam sebuah kehidupan bagi umat islam sebenarnya yang patut kita contoh...
Habiburrahman sekarang malah sudah menjadi sutradara juga kan..?
Sayangnya aku bukan penyuka film... kalaupun nonton film aku lebih sering melakukannya di rumah saat film itu diputar di TV... hehehe.
fil indonesia memeng cenderung menyontek film amerika yang justru tidak sesuai islam.
Posting Komentar