News Update :
Home » » Pala Dunia Digoyang Isu Nuklir dan Santet

Pala Dunia Digoyang Isu Nuklir dan Santet

Penulis : Rey Yudhistira on Sabtu, 12 Juni 2010 | 11.41

Piala Dunia pernah jadi ajang politik. Dari masa rezim fasis, sampai isu peran dukun
VIVA news- BELBAGAI macam kampanye anti politik dan rasisme dilancarkan di lapangan hijau dan Piala Dunia. Tapi, pesta bola sejagat tak pernah steril. Sejarah Piala Dunia kental dengan nuansa politik.

Pada 1934, misalnya, Piala Dunia menjadi sangat politis setelah Italia ngotot menjadi tuan rumah. Adalah Bennito Mussolini mendorong Italia mengambil kesempatan itu. Mussolini punya ambisi besar menjadi pemimpin Eropa.

Lobi Italia beraroma politis itu menembus benteng FIFA. Otoritas tertinggi sepakbola dunia itu tak bisa berbuat banyak karena memang giliran Eropa menjadi tuan rumah Piala Dunia. Apalagi, Negeri Pizza itu juga memiliki fasilitas, sarana dan prasarana memadai untuk menggelar perhelatan besar bola sejagat itu.



“Il Duce” Mussolini,  misalnya, mengerahkan segala akal agar Italia menjadi juara dunia. Dia menekan panitia penyelenggara,  tapi juga menawarkan “gula-gula”. Salah satunya, tawaran status warganegara Italia kepada sejumlah pemain yang punya hubungan darah, dan keluarga di Italia. Misalnya Luis Monti, dan Raimundo Orsi. Keduanya berasal dari Argentina.

Dia memotivasi para pemain Gli Azzurri, dan membakar semangat mereka dengan cara khas fasis. Suatu hari menjelang duel Italia lawan Cekoslovakia, Mussolini menulis pesan kepada kapten Italia. Isinya hanya dua patah kata:  “Juara, atau mati!” 

Gaya Mussolini itu, apa boleh buat, terbukti manjur. Mungkin karena nyawa mereka ditawan di ujung jari sang fasis, para pemain Italia bertarung mati-matian. Italia akhirnya tampil sebagai juara Piala Dunia 1934, dengan mengalahkan Cekoslovakia 2-1 di final.

Situasi politik dunia kian panas, saat  Piala Dunia 1938 digelar di Prancis. Belum usai bayang-bayang Perang Dunia I, warga Eropa dicekam  perang baru meletus lagi. Kecemasan ini bukan isapan jempol belaka. Setahun kemudian, Perang Dunia II meletus dahsyat.

Pada Piala Dunia ketiga ini, Adolf Hitler sudah melakukan propaganda politik. Der Fuhrer terinspirasi oleh sukses Mussolini ‘menginvasi’ lapangan hijau, dan menjadikannya ajang pamer kekuatan. Hitler pun menginginkan Jerman menjadi juara dunia.

FIFA masih belum bisa mengendalikan situasi. Padahal, publik serta peserta Piala Dunia tentu sangat berharap event ini steril dari politisasi. Sepakbola adalah ‘agama’ tersendiri bagi pengemar fanatiknya.

Sayangnya, usaha FIFA kembali membentur tembok. Perang Dunia II akhirnya pecah pada  1939-1945. Padahal,  otoritas sepakbola dunia itu sudah menunjuk Jerman sebagai tuan rumah Piala Dunia 1942. Perhelatan itu baru bisa berlangsung empat tahun kemudian, tatkala perang telah usai.

Kudeta

Piala Dunia sempat absen selama delapan tahun. Itu dirasa terlalu lama buat FIFA, dan juga buat fans sepakbola dunia. Akhirnya, Swiss ditunjuk menjadi tuan rumah Piala Dunia 1954. Terinspirasi oleh Swiss sebagai negara paling aman sedunia, suhu politik dunia pun turun. Demikian pula di Piala Dunia 1958 Swedia. 

Di Chile, tempat Piala Dunia 1962 digelar, isu-isu politik mulai menghilang. Publik dunia justru dibungkus perasaan simpati mendalam terhadap Chile. Negeri itu diguncang gempa hebat dua tahun sebelum piala dunia digelar. Rakyat Chile menderita setelah dilantak lindu 9,5 skala Richter. Sejumlah sarana Piala Dunia hancur. Posisi Chile terancam Argentina, rivalnya dalam pencalonan tuan rumah.

Melihat kondisi itu, Carlos Dittborn, Presiden Komite Organisasi Piala Dunia 1962 mengeluarkan pernyataan, yang lalu menjadi slogan tak resmi di kompetisi: "Karena kami tak punya apa-apa lagi, kami akan melakukan segalanya, dengan kekuatan kami miliki untuk membangun kembali."

Dan sejumlah tempat pertandingan pun dibangun kembali. Ajaib, dengan semangat itu, Chile berhasil tampil sebagai tuan rumah.

Sejak saat itu, ketegangan politik kian mengendur di pentas Piala Dunia. Jika ada, hanya pemanis media belaka. Pada Piala Dunia 1974 Jerman, Uni Soviet gagal melaju di babak kualifikasi. Tim Beruang Merah menolak bertanding melawan tuan rumah Chile. Uni Soviet protes kudeta diktator militer Pinochet, yang menggulingkan Presiden Salvador Allende, dari kubu sosialis Chile.

Chile akhirnya diputuskan menang tanpa bertanding. Haiti, yang saat itu di bawah pengaruh rezim Francois 'Papa Doc' Duvalier, menggelar pertandingan kualifikasi melawan Trinidad. Empat gol tim tamu dianulir membuat FIFA akhirnya menghukum wasit yang memimpin pertandingan.

Bek Haiti, Ernst Jean-Joseph menjadi pemain pertama dalam sejarah Piala Dunia yang kedapatan positif doping. Sedangkan pemain Chile, Carlos Caszely juga mencatatkan sejarah sebagai pemain pertama yang mendapat kartu merah.

Nuklir dan Santet
Piala Dunia 1994 merambah Amerika Serikat (AS). Penunjukan negara adidaya ini sebagai tuan rumah oleh FIFA sempat memicu kontroversi.

Pasalnya, sepakbola yang lebih dikenal dengan soccer tak populer di Negeri Paman Sam. Alhasil, AS pun tak memiliki banyak lapangan representatif. Tapi, Pemerintah AS tak kehilangan akal. Sejumlah lapangan bisbol dan American Football disulap menjadi lapangan sepakbola.

Pada Piala Dunia 1998 di Prancis, pemerintah AS mengancam akan menginvasi Iran yang diduga punya cadangan nuklir. Uniknya, Iran dan AS berada dalam satu grup. Pertemuan Iran dan AS pun dikipas oleh media akan berlangsung panas, dan berimbas ke luar lapangan. Tapi, apa yang terjadi? Iran menang 2-1, dan tak ada kerusuhan apa pun.

Drama sesungguhnya terjadi saat menjelang partai puncak antara tuan rumah Prancis, dan Brasil. Superstar Brasil, Ronaldo tiba-tiba kolaps menjelang final. Ia dilarikan oleh teman sekamarnya Roberto Carlos ke rumah sakit.

Desas desus dukun berbicara di Prancis mulai terdengar. Apalagi, Negeri Anggur itu terkenal ramai oleh imigran Afrika yang doyan urusan mistis dan dukun. Sempat berhembus rumor maestro Tim Ayam Jantan Prancis, Zinedine Zidane dimandikan seorang dukun. Tujuannya,  agar Zidane terbebas dari segala bala dan “santet” sebelum laga final.

Hasilnya sudah ketahuan. Prancis untuk kali pertama menjadi kampiun Piala Dunia dengan menjinakkan Tim Samba Brasil 3-0. Maestro Les Bleus, Zidane pun mencetak dua gol dengan cara ajaib. Semuanya lewat sundulan yang jarang sekali dilakukannya.

Berikutnya, giliran Asia menjadi ajang Piala Dunia 2002.  Jepang dan Korea Selatan tampil sebagai tuan rumah bersama. Pesta itu berlangsung aman. Meski sempat diragukan FIFA, kedua negara ini terbukti sukses menjadi tuan rumah pesta bola pertama di Asia ini. Demikian pula Jerman ketika menjadi tuan rumah Piala Dunia 2006.

Kontroversi dan keragu-raguan kembali muncul seiring penunjukan Afrika Selatan sebagai tuan rumah Piala Dunia 2010. FIFA berdalih kali ini memang giliran Afrika. Dukun, fasilitas kurang memadai,  dan ancaman keamanan menjadi isu yang kerap terdengar.

Tapi, apa pun itu, tuan rumah pasti akan bekerja keras menciptakan pesta bola sejagat yang sukses. Maka, mari nikmati Piala Dunia 2010 Afrika Selatan.



sumber: viva news. 
Share this article :

Posting Komentar

SEO Stats powered by MyPagerank.Net
 
Company Info | Contact Us | Privacy policy | Term of use | Widget | Advertise with Us | Site map
Copyright © 2011. Bukan Sastrawan . All Rights Reserved.
Design Template by panjz-online | Support by creating website | Powered by Blogger