News Update :
Home » » Episode “Perang Kembang” dan Jalan Kebajikan

Episode “Perang Kembang” dan Jalan Kebajikan

Penulis : Rey Yudhistira on Jumat, 01 Oktober 2010 | 10.04


Terkuaknya aroma korupsi dalam skandal perpajakan yang memunculkan nama Gayus Tambunan, bisa jadi baru satu dari sekian mafia yang sempat terendus. Konon, masih banyak aroma busuk penggelapan uang rakyat dan negara yang tak tercium. Berbagai skandal dan mafia yang terjadi itu makin menegaskan bukti kalau korupsi yang berlangsung di negeri ini memang sudah menggurita di berbagai lapis dan lini birokrasi.
Bahkan, aparat penegak hukum yang seharusnya bersih dari limbah korupsi, justru malah berselingkuh dan melakukan persekongkolan jahat dengan para pengemplang harta negara. Mungkin karena itulah ruang penjara di negeri yang sering dijuluki republik korupsi ini hanya dihuni oleh para maling ayam, pencuri kapok randu, dan semacamnya. Sementara, mereka yang nyata-nyata telah berbuat biadab dan korup hingga banyak rakyat miskin yang terampas hak-haknya, justru bebas melenggang di luar tembok penjara. Melalui blantik dan markus, nasib mereka bisa selamat dari jeratan hukum pidana.


Meski Gayus telah tertangkap, bukan jaminan mafia perpajakan akan bisa cepat terungkap. Banyaknya mata rantai yang harus dirunut dan diurai, bisa jadi malah membuat kasus ini menguap; sama dan sebangun dengan kasus-kasus korup sebelumnya; entah itu kasus Anggoro-Anggodo atau bank century, yang hingga kini masih menimbulkan tanda tanya besar di benak publik. Atau, jangan-jangan kasus yang melibatkan tokoh-tokoh penting sengaja dibuat tanpa ending, melingkar-lingkar, dan mbulet, hingga akhirnya masyarakat jadi capek dan kelelahan sendiri.

Dalam teks fiksi, kita mengenal istilah never ending-story. Konflik genre teks fiksi bergaya tutur seperti ini sengaja dibuat melingkar-lingar, menegangkan, sekaligus menghanyutkan. Ending cerita juga didesain menggantung dan tanpa akhir. Pembaca diberi ruang tafsir secara bebas untuk menyimpulkan dan menerjemahkan sendiri akhir konflik yang disuguhkan. Tujuannya jelas, agar alur cerita memiliki daya pikat sekaligus mencerdaskan pembaca.

Pembaca tidak merasa terpasung dan terdikte. Dalam suasana demikian, khazanah batin pembaca tercerahkan melalui jalinan dan konflik cerita yang menyentuh dan mengharukan. Dengan membaca kisah-kisah fiksi bergaya never ending-story, pembaca akan menemukan pengalaman-pengalaman hidup yang baru dan unik, yang belum tentu bisa dengan mudah diperoleh dalam kehidupan sehari-hari.

Namun, di negeri ini, skandal dan mafia perpajakan, maklar hukum, atau blantik pengadilan, bukan lagi sebuah fiksi. Fakta-fakta anomali semacam itu sudah tampak telanjang dan nyata di depan mata. Dampaknya pun sudah makin terasa. Rakyat kecil yang seharusnya bisa menikmati remahan kue pembangunan, hanya bisa gigit jari, lantaran uang pajak yang seharusnya masuk ke kas negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, justru dimanipulasi, dikemplang, dan digelapkan untuk kepentingan segelintir orang bersama kroni-kroninya. Ketaatan rakyat terhadap hukum pun makin luntur lantaran tak ada lagi figur yang bisa dijadikan teladan dan anutan sosial dalam bersikap dan bertingkah laku.

Ibarat episode “Perang Kembang” dalam sebuah pakeliran wayang, negeri agaknya sedang berada dalam suasana pertarungan antara kebajikan melawan kejahatan; keluhuran budi melawan angkara murka. 
 
Dalam pakem wayang, Arjuna sebagai simbol kebajikan pasti akan keluar sebagai pemenang setelah mengalami pertempuran dahsyat melawan Buta Cakil sebagai simbol kejahatan. Dalam perang kembang, buta cakil dengan berbagai macam cara berupaya menggoda Arjuna dengan segala kemampuan akrobatik dan hipnotisnya agar Arjuna takluk. Buta Cakil terus bermanuver lewat orasi dan teriakannya yang kencang dan memekakkan telinga. 
 
Namun, Arjuna bergeming. Jalan kebajikan yang lurus terbentang di hadapannya sanggup menepis semua godaan, iming-iming, dan tipu muslihat. Karena gagal menggoda Arjuna, Buta Cakil pun akhirnya mati tertusuk kerisnya sendiri. Arjuna berhasil menegakkan nilai-nilai keluhuran budi dan kebajikan hidup.
 
Nah, bagaimana dengan aparat penegak hukum kita? Kalau diibaratkan aparat penegak hukum kita adalah Arjuna, maka sudah jelas, Arjuna kita telah gagal melawan godaan Buta Cakil sebagai representasi dari para koruptor dan maklar kasus. Alih-alih menaklukkan kebatilan, aparat penegak hukum kita malah berselingkuh dan membangun persekongkolan jahat dengan para pengemplang harta negara. Dalam pentas pakeliran konvensional, adegan kekalahan Arjuna ketika melawan Buta Cakil jelas menjadi sebuah anomali dan pasti akan menimbulkan situasi geger dan chaos di kalangan penonton. Bisa-bisa dalangnya ditimpuki batu dan yang tragis kelirnya pasti akan segera dihancurkan.

Haruskah rakyat di negeri ini marah dan nekad menghancurkan peradaban yang telah dibangun dengan susah-payah ketika aparat penegak hukum kita gagal menuju jalan kebajikan? Haruskah kelir ditutup dan membuat lakon baru dengan dalang dan perangkat propertinya yang serba baru? Agaknya, sejarahlah yang akan membuktikan hal itu.
 
Share this article :

Posting Komentar

SEO Stats powered by MyPagerank.Net
 
Company Info | Contact Us | Privacy policy | Term of use | Widget | Advertise with Us | Site map
Copyright © 2011. Bukan Sastrawan . All Rights Reserved.
Design Template by panjz-online | Support by creating website | Powered by Blogger