News Update :
Home » » Blue-Eyed Devil - Cicilan Sastra Islami Amerika Syarekat

Blue-Eyed Devil - Cicilan Sastra Islami Amerika Syarekat

Penulis : Rey Yudhistira on Minggu, 13 Juni 2010 | 10.12

Setelah menilik kisah fiktif menjanjikan yang isinya bersinggungan dengan insiden-insiden fenomenal dalam sejarah Islam, kini saatnya kita masuk ke wilayah produsen novel tersebut. Artinya, mari kita masuk ke memoar Michael Muhammad Knight yang berjudul
Blue-Eyed Devil atawa Iblis Mata Biru
Secara umum, Blue-Eyed Devil: A Road Odyssey through Islamic America, sebagaimana diindikasikan judul lengkapnya ini, merupakan sebuah catatan perjalanan yang berisi beberapa perjalanan yang tema umumnya kira-kira bisa terangkum dalam poin-poin kunci: perjalanan spiritual, Islam di Amerika, W. D. Fard, Nation of Islam, Islam pribadi.

Buku ini dibagi menjadi tiga bagian, yakni “The Skylark Hajjs” (Berhaji Naik Sedan Skylark), “The Grey-Dog Hijras” (Hijrah Naik Bis Greyhound), “Pure Products of America” (Produk Amerika Tulen)*. Bagian pertama berkisah tentang perjalanan Michael Muhammad Knight ke Illinois, New York, Idiana, dan Alabama yang sebagian besar ditempuh dengan sedan Buick Skylark-nya. Perjalanan ini berisi menghadiri konvensi Islam tahunan Islamic Society of North America, ziarah ke makam pimpinan besar Nation of Islam The Honorable Elijah Muhammad (orang yang ikut “membaptis” Malcolm X dan petinju Muhammad Ali sebagai muslim Nation of Islam), dan tak lupa mengunjungi beberapa cewek—maklum lah namanya juga anak muda, :D. Bagian kedua berkisah tentang perjalanan spiritual Michael keliling Amerika dari ujung ke ujung (New York, Khalifornia, Seattle, Florida) naik bis Greyhound dengan berbekal tiket free-pass 60 hari. Selama perjalanan ini, Michael mengunjungi makam beberapa tokoh Islam yang ada di Amerika sejak tahun 1800-an hingga kini. Termasuk di antaranya adalah makam Bilali Muhammad (budak asal Guinea Afrika yang selanjutnya menjadi mandor di pulau Sapelo, Georgia dan wafat dengan meninggalkan tulisan setebal 13 halaman berisi ajaran-ajaran dasar Islam), Alexander Russell Webb (mantan pejabat Amerika yang menjadi muslim setelah dinas di Filipina pada akhir abad ke-19, dikenal sebagai orang kulit putih pertama yang masuk Islam), Noble Drew Ali (pendiri Moorish Science Temple, sekte pertama di Amerika yang mengajarkan nilai-nilai ke-Islam-an dan mengajarkan bahwa orang kulit hitam dulunya adalah bangsa Moor, yang agamanya Islam), beberapa tokoh lain, dan mencari jawab akan misteri Master Fard (W.D. Fard), sang pendiri Nation of Islam yang tak jelas asal-usulnya dan misterius pula hilangnya. Bagian ketiga buku ini, “Produk Amerika Tulen” berkisah tentang perjalanannya ke Virginia dan New York. Di Morgantown, Virginia, Michael mengikuti seminar para feminis muslim dan demo melawan masjid Morgantown yang tidak memperbolehkan perempuan masuk lewat pintu utama masjid. Sementara itu, di New York, dia mengikuti sholat Jumat yang diimami dan dikhatibi oleh ibu Amina Wadud, profesor African-American studies dan Islamic studies yang, sebagaimana sidang jamaah milis sekalian ketahui, kelak berkesempatan jadi dosen tamu di Malaysia dan Indonesia.
* (Maaf, bukan sok nerjemah karena saya meragukan bahasa Inggris Saudara sekalian [insya allah tidak]. Saya cuman pingin ngetes apakah kira-kira terjemahan ini bisa diterima. :D)
Dari catatan perjalanan ini, ada beberapa hal yang layak diamati:
Pertama, dari sisi teknis penulisannya, Michael bisa dibilang agak-agak mirip dengan Kang Sigit Susanto kita yang suka memasukkan elemen-elemen sejarah, sastra, dan politik ke dalam catatan perjalanannya. Michael juga memasukkan banyak elemen sejarah Islam di Amerika. Sampai-sampai, saking luas referensi sejarah yang dia pakai, buku ini bisa dibilang cukup kompeten sebagai indeks Islam di Amerika. Artinya, dengan membaca buku ini, kira-kira kita akan tahu siapa-siapa saja tokoh yang bukunya (atau tentangnya) harus kita baca, tempat-tempat mana saja yang harus kita kunjungi, dan apa-apa saja organisasi yang terkait dengan Islam di Amerika. Dari sini saja, kita jadi tahu betapa Islam sebenarnya bukan barang baru di Amerika, meskipun harus diakui bahwa Islam baru menjadi sorotan di Amerika setelah 9/11—yang sebenarnya (sorotan ini) malah menjadikan semakin pesatnya peningkatan jumlah pemeluk Islam di Amerika. Tapi ya, untungnya, Michael juga memberikan porsi yang cukup banyak kepada isi perjalanannya itu sendiri, sehingga buku ini seimbang antara “catatan” dengan “perjalanan”nya.
Kedua, komentar-komentar yang Michael lontarkan selama mengulas perjalanannya ini bisa membimbing kita untuk memahami bagaimana posisinya sendiri terhadap Islam. Kalau kita baca novel The Taqwacores, mungkin kita akan mereka-reka bahwa penulisnya adalah muslim yang ultra-radikal, yang kira-kira bukunya sulit diterbitkan di Indonesia (seperti halnya buku The Satanic Verses yang bahkan seorang penulis muslimah di facebooknya hanya menyebutkan inisialnya saja waktu bilang bahwa dia baru dapat dan baru baca buku itu, hehehe...) kalau sampai ketahuan MUI. Dalam Blue-Eyed Devil, kita akan tahu bahwa Michael adalah muallaf yang mengenal Islam sejak mendengar lagu-lagu rap Public Enemy dan nonton/baca biografi Malcolm X, berkesempatan belajar Islam 2 bulan di Masjid Faisal Islamabad, Pakistan, mengalami disorientasi keimanan dan sempat menganggap diri murtad dari Islam tapi tetap memiliki “taqwa”, dan pada akhirnya Michael bilang bahwa “kisahku dengan Islam ini seperti hubungan tidak bahagia yang tak pernah benar-benar berakhir, meskipun kita saling menelanjangi keburukan satu sama lain.”
Yang menarik dari disorientasi iman ini: Michael tidak berhenti menelusuri lebih dalam tentang Islam! Dia tidak mengingkari bahwa mungkin ada unsur malas dalam disorientasi keimanannya. Tapi yang pasti, dari banyaknya pengaruh para pemikir Islam baik masa kini maupun di masa lalu, kelihatan bahwa dia berusaha keras memahami disorientasinya, tidak menyerah dan membiarkan begitu saja keimanannya terurai oleh waktu (ciyyeeeee...).
Ujungnya, pandangan Michael yang kita ketahui di sini adalah sebuah 1) keyakinan yang kuat tentang ke-Esa-an Tuhan, 2) ketidakmautundukan kepada para ulama (yang dia anggap “menghalangi” hubungan langsung manusia dengan Tuhan) dan bahkan Rasulullah (yang dia anggap tak lebih dari manusia biasa dan bahkan ketika mulai menjadi pimpinan politik dia melihat adanya “kemunduran” kebijaksanaan), dan 3) keyakinan bahwa semestinya Islam yang sekarang lebih toleran, lebih lembut, dan lebih ramah dengan jaman, sepertinya misalnya dengan pengakuan yang lebih besar kepada kaum perempuan. Mungkin masih ada yang lain, tapi sementara itu saja pandangan agama Michael yang bisa saya tangkap.
Ketiga, ada satu modus operandi muncul berulang kali dalam kisah-kisah perjalanan Michael ini: “menyucikan” hal-hal duniawi sehingga sama sucinya dengan hal-hal yang ada dalam sejarah Islam maupun di tempat-tempat yang “lebih Islami” dari Amerika. Contoh sederhananya adalah judul bagian-bagian buku ini “Berhaji Naik Sedan Skylark” dan “Hijrah Naik Bis Greyhound”. Perjalanan pertama Michael ke Illinois dan New York dia samakan dengan “berhaji” karena memang keduanya adalah perjalanan ke tempat-tempat penting Islam di Amerika. Chicago merupakan kota dengan sejarah Islam yang sangat kental, Nation of Islam dan ISNA bermarkas di Chicago. Sementara New York adalah tempat penting karena Malcolm X banyak menghabiskan waktu menjadi pendakwah buat Nation of Islam dan Muslim Mosque, Inc., dan bahkan wafat ditembak saat berdakwah di New York. Sementara perjalanan keliling Amerikanya dia samakan dengan “hijrah” rasulullah, mungkin karena banyak hikmah yang bisa dia dapatkan dari perjalanan ini, dan semakin meningkatkan kualitasnya sebagai seorang “muslim Amerika tulen”, hijrah menuju kelebihmengertian. Di dalam buku ini, lebih banyak lagi kita temukan, seperti misalnya ketika dia berada di Florida, memasuki museum dan melihat satu batu hitam yang merupakan bekas meteor, dia mencium batu hitam itu karena dia pesimis bisa naik haji dan mencium Hajar Aswad yang konon juga merupakan batu meteor. Saat teringat dahi penyanyi Wesley Willis yang kehitaman karena setiap ketemu orang yang dia sukai dia selalu membenturkan dahinya sebagai bukti sayang, dia menghubungkannya dengan tanda hitam di dahi orang yang rajin sholat :). Banyak lagi lainnya di dalam buku ini.
Keempat, Michael selalu enggan jika Islam di Amerika hanya dikaitkan dengan 9/11 saja. Sebagai orang Amerika asli, Michael sangat mengutuk siapa saja yang menyebabkan tragedi 9/11, dan bahkan dia tidak simpati dengan imam Siraj Wahhaj yang pernah didesas-desuskan terlibat konspirasi di balik 9/11. Tapi, dia sendiri tidak senang jika pandangan-pandangan keislamannya dikait-kaitkan dengan tragedi tersebut. Dia sendiri mengaku ingin mengetahui lebih jauh tentang Islam di Amerika agar bisa mendapatkan pemahaman Islam yang lebih luas buat dirinya sendiri. Dia juga kurang simpatik dengan gerakan para muslim progresif yang upaya-upayanya cenderung menyasar orang-orang di luar Islam, seolah-olah untuk memberikan citra Islam yang lebih baik. Michael lebih senang dengan upaya-upaya yang sifatnya mengarah ke dalam, ke arah reformasi kaum muslim sendiri, menuju Islam yang lebih baik. Maka segala pembahasan tentang Islam yang dia lakukan adalah kritik terhadap “ketidakrahaman” Islam (terutama Islam sunni) kepada perempuan, kelompok-kelompok yang berbeda dengannya (seperti halnya kelompok Syi'ah, Nation of Islam, Ahmadiyyah, dan bahkan kelompok-kelompok sufi) dan seolah mengajak pembacanya mempelajari atau mengambil hikmah kebaikan dari mana pun asalnya (di sini dicontohkan dengan penerimaan hikmah dari kelompok Five Percenters dan Ahmadiyyah, yang sebenarnya merupakan kelompok pertama yang secara sadar mengirimkan “misionaris” ke Amerika untuk menyebarkan Islam, dan bahkan beberapa sumber menyebutkan bahwa Master Fard, sang pendiri Nation of Islam itu, sebenarnya adalah seorang profesor Ahmadiyyah).
Demikianlah, catatan perjalanan atau mungkin bisa disebut memoar ini memberikan renungan-renungan mencerahkan yang sifatnya bisa personal tapi juga bisa merupakan pandangan-pandangan para penulis terdahulu DAN juga bisa memberikan apa-apa yang semestinya dijanjikan sebuah catatan perjalanan, yakni kisah-kisah perjalanan yang sifatnya personal, tidak bisa dialami oleh orang lain, meskipun orang lain itu menempuh jalur perjalanan yang sama dengan Michael sendiri. Dengan begitu, pada asikometer (standar keasyikan bahan bacaan :D) saya, Michael bisa mencapai tahap yang mencerahkan sekaligus menyenangkan.
Sementara sekian dulu dari saya sampai titik ini. Kalau saudara berkenan melanjutkan, di bawah ini ada terjemahan beberapa potong bagian dari Blue-Eyed Devil, dan di bawahnya akan dilanjutkan dengan rangkuman bagian per bagian dari memoar Blue-Eyed Devil. :D
Kutipan:
“Duduk di sebelah seorang perempuan saja membuatku gemetar tak keruan … Aku tidak hanya dibikin tak berdaya karena menjadi muslim, tapi juga berubah menjadi monster yang selalu dihantui rasa bersalah dan tak bisa menikmati apa yang kuanggap sebagai kehidupan “wajar” Amerika (hal. 61).
“Fard atau pun bukan, Muhammad Abdullah telah menjalankan perannya. Seolah abai pada penolakan kaum Ahmadiyah dari saudara-saudara mereka di seluruh dunia, dan fatwa kafir serta anggapan bahwa mereka sama sekali bukan Muslim, seorang profesor Ahmadiyah berjasa lebih besar bagi apa yang kita sebut Islam yang “benar” di Amerika dibandingkan dengan apa yang dilakukan orang-orang Wahhabi dan Salafi berengsek ini, lebih dari Siraj Wahhaj atau siapa saja …" (hal. 96).
“... bahkan meskipun aku tidak bisa lagi menerima jebakan-jebakan formal Islam sebagai “jalan hidup”, keislamanku masih bisa membuatku merasa tidak nyaman saat dekat-dekat dengan patung […] Seperti kata Todd Gullion dari band Time in Malta suatu kali, 'kalau soal agama, kita harus mau mengorek-ngorek lumpurnya sebelum akhirnya menemukan mutiara di sana.' Mungkin mutiara dalam Islam adalah bahwa kita tidak punya patung, dan aku belum pernah melihat kaum Muslimin merenung di hadapan patung kepala Muhammad.” (hal. 153)
“... seorang gadis kulit putih berjilbab yang setiap bicara pasti mengandung masya Allah, subhanallahu ta'ala, atau alhamdulillah dan tidak mau menatap mata ketika diajak berbicara … Gadis Asia selatan yang mengisi stok rak-rak buku itu lebih menarik, tanpa sikap alim yang tak ramah atau semacamnya—dan meskipun dia memakai jilbab, penampilannya tampak lebih kasual dibanding gadis putih yang tubuhnya terbungkus rapat itu.” (hal. 163)
“Sekilas … seolah-olah tidak ada [perantara antara kita dan Tuhan] dalam Islam, yang ada hanya kita dan Tuhan... Kita tidak punya institusi, tidak punya lembaga pemimpin agama formal. [Namun] saya merasa kita tidak benar-benar menghargai itu, karena ujung-ujungnya kita menjadi pengikut, seolah-olah kita memiliki lembaga pemimpin agama. Yang kita lakukan ini persis [seperti pengikut agama non-Islam yang memiliki lembaga], kita menjunjung tinggi otoritas, kita memiliki tradisi hukum, dan insitusi yang kita ikuti.” (Knight, Kutipan dari wawancara berjudul “Inside Islam”, sebuah acara radio yang disiarkan dari University of Wisconsin)
Kenapa Judulnya Blue-Eyed Devil?
Judul ini merupakan frase yang berasal dari Nation of Islam dan pendirinya, W. D. Fard. Blue-Eyed Devil mengacu kepada orang-orang kulit putih yang dianggap sebagai “iblis” dalam teologi pembebasan Nation of Islam.
Terus, apa Nation of Islam itu? Nation of Islam adalah organisasi keagamaan yang didirikan oleh W. D. Fard di Detroit pada tahun 1930-an—asal usul Master Fard ini sendiri misterius. Para pengikutnya menyebut diri “muslim”. Dan pokok ajaran Nation of Islam sendiri, bisa ditebak, banyak mengambil dari ajaran pokok Islam. Larangan minum alkohol, mengkonsumsi babi, pakai obat terlarang, dan bahkan merokok adalah salah satu yang paling menonjol pada masanya. Mereka percaya kepada Allah. Mereka sholat lima kali sehari (meskipun dengan cara yang berbeda). Dan yang utama adalah mereka berjuang untuk mencerahkan kaum kulit hitam dan mengurangi ketergantungan mereka kepada orang-orang kulit putih. Yang paling menyentakkan buat kaum kulit hitam yang merasa diri inferior dan semacam mengidolakan orang kulit putih adalah ajaran Fard bahwa “Original Man” yang sebenarnya adalah orang kulit hitam, yang salah satunya melakukan eksperimen yang setelah 600 tahun menghasilkan ras kulit putih. Intinya, tidak ada alasan buat tunduk kepada ras kulit putih yang sekian waktu memperbudak dan mendominasi kehidupan mereka (salah satu alasan kenapa orang kulit hitam tidak sadar akan dominasi itu adalah karena orang kulit putih menjejali mereka dengan makanan racun—yang di sini mengacu kepada makanan haram). Fard juga mengajarkan bahwa agama asli orang kulit hitam adalah Islam, bukan agama Kristen yang banyak mereka anut saat itu. Fard juga menyebutkan bahwa orang kulit hitam telah dicerabut dari akar budaya, agama, dan bahkan namanya—dan nama belakang orang kulit hitam saat ini adalah nama tuan dari nenek moyang mereka dulu ketika menjadi budak—dan untuk itu diperlukan sebuah pemutusan hubungan: agama kembali menjadi Islam, budaya kembali ke budaya non-barat, dan nama menjadi nama-nama Islam (Fard menjual jasa memberi nama-nama Islami dengan harga beberapa dolar per nama). Kelak, setelah Master Fard menghilang dari peredaran secara misterius, Elijah Muhammad menjadi penerusnya dan di situ dia menyebutkan bahwa dia adalah Utusan Allah yang ditugaskan melanjutkan tugas Master Fard dan sang Master sendiri adalah perwujudan Allah dalam bentuk manusia. Elijah Muhammad melanjutkan perjuangan NOI (Nation of Islam) dengan keras. Bukti penentangannya terhadap orang kulit putih adalah penolakannya ikut wajib militer yang berbuntut penjara. Perjuangan NOI ini semakin berapi-api ketika Malcolm X bergabung ke dalamnya dan ikut menyumbang semakin banyaknya pengikut NOI. Malcolm X selanjutnya memutuskan meninggalkan NOI dan memeluk Islam sunni (yang di konteks Amerika biasanya disebut Islam ortodoks). Petinju Muhammad Ali, yang juga teman baik Malcolm X, pada awalnya adalah pengikut NOI dan bahkan mendapat nama “Muhammad Ali” dari Elijah Muhammad.
Dalam Blue-Eyed Devil, yang dimaksud si Iblis Mata Biru adalah si Michael Muhammad Knight sendiri yang merupakan orang kulit putih dari keturunan Irlandia. Michael banyak membahas tentang Nation of Islam meskipun tidak secara runut. Jadi, saya pikir perlulah kiranya kita lewati dulu pembahasan singkat tentang Nation of Islam. Selanjutnya, kita masuki kisah Blue-Eyed Devil yang sesungguhnya. Yakni:
Michael mengakui di bagian awal buku ini bahwa perkenalan awalnya dengan Islam adalah lagu-lagu rap Public Enemy dan lain-lain serta otobiografi Malcolm X (yang dinarasikan ustadz Malcolm kepada Alex Haley, yang ulasan singkatnya bisa Anda temukan di http://berbagi-mimpi.info/sastra.php/fenomena/reviewreviewreviewreview-the-autobiograp) dan film adaptasi dari otobiografi tersebut yang disutradarai oleh Spike Lee. Semua itu terjadi saat Michael berusia 15 tahun. Dan pada usia 16 tahun dia mengucap syahadat di Islamic center kota tetangga dan mulai menjalankan Islam secara ultra-serius. Dia sempat mendapat beasiswa belajar agama selama dua bulan di Masjid Faisal di Islamabad, yang merupakan masjid terbesar di dunia. Dan sekian waktu kemudian, saat berada di Amerika kembali, dia mengalami disorientasi. Dia menyadari bahwa Islam yang dia temui saat ini ternyata bukan Islam yang membuatnya tertarik pada awalnya, Islam yang hanya percaya kepada ke-Esa-an Tuhan, Islam yang tak punya perantara antara Tuhan dan manusia. Ujung-ujungnya, dia sempat merasa diri bukan lagi orang Islam. Dia hanya merasa memiliki “taqwa”, tapi bukan “Islam”... Saat itulah katanya dia menulis The Taqwacores yang saya bahas kemarin itu.
Bagian pertama memoar Blue-Eyed Devil yang berjudul “The Skylark Hajjs” (“Naik Haji Pakai Sedan Skylark”) ini berkisah tentang jalan-jalannya dari tempat tinggalnya di sebuah desa kecil di New York ke beberapa tempat, antara lain Chicago dan Alabama dan Virginia. Perjalanan ini semacam luapan dari protesnya atas Islam yang tidak lagi seperti harapannya itu. Di Chicago, dia mengikuti konvensi Islamic Society of North Amerika, tapi dengan tekad untuk melanggar semua larangan yang disebutkan dalam formulir pendaftaran onlinenya. Di sana, dia menunjukkan kemuakannya kepada para imam superstar yang dipuja-puja orang dan suka melarang-larang “umat”nya. Imam superstar yang dia anggap menghalangi hubungan langsung antara manusia dengan Tuhannya ini adalah antara lain Siraj Wahhaj (seorang mantan anggota Nation of Islam yang akhirnya menjadi muslim ortodoks dan sempat berikrar bahwa kalau sampai ada masjid yang mengakomodir pernikahan homoseksual di New York dia akan masjid itu) dan Yusuf Islam (ya... Cat Stevens kita tercinta sang pencipta Wild World dan Father and Son dan Moon Shadow dan banyak lagu lainnya yang pasti akan makan tempat kalau saya list di sini, apalagi kalau saya sambil nyanyi-nyanyi, hehehe...). Dia kasih kedua tokoh itu “stink-palm”, salah satu istilah anak punk yang kira-kira arti paling sopannya (!) adalah “kentut di tangan dan kemudian menyalami orang dengan tangan itu” (kalau itu saja arti paling sopannya, bagaimana dengan yang tidak sopan? Bayangkan sendiri, atau silakan search di internet). Dia juga tak lupa bawa beberapa eksemplar “novel jorok”nya, The Taqwacores, untuk dijual di sana. Dia jual dengan harga seikhlasnya. Dalam kesempatan itu, dia juga melayat Wesley Willis yang sedang jenazahnya sedang disemayamkan di rumah keluarganya. Wesley Willis adalah seorang penyanyi kulit hitam—yang orang ayahnya anggota Nation of Islam tapi dia sendiri seorang Kristen—yang suka menyanyi hanya dengan mendalkan keyboard Casio dengan drum beat disetel pada Country Rock dan membuat ratusan lagu. Michael, yang suka mencari-cari “kesucian” dalam segala hal duniawi ini melihat adanya “kesucian” pada tanda hitam di dahi Willis yang disebabkan oleh kebiasannya membenturkan kepalanya kepada orang lain sebagai tanda cinta. Dia menyejajarkan “tanda cinta” di dahi Willis itu dengan tanda hitam di dahi orang yang banyak sholat. “Menyucikan” hal-hal duniawi ini selanjutnya akan menjadi modus operandi yang berulang kali muncul di dalam memoar ini dan buku-buku Michael selanjutnya. Michael juga ziarah ke makam Elijah Muhammad di kota Chicago ini dan beruntung bisa menemukan makam yang sebenarnya dirahasiakan itu—berkat bantuan seorang cucu Elijah Muhammad yang kebetulan hari itu datang dan curiga dengan keberadaan Michael yang muter-muter di pemakaman tersebut.
Wah, kok tambah panjang saja ya tulisan ini. Sepertinya saya harus mulai merangkum poin-poin super penting saja. Hehehe...
Bagian kedua memoar ini dijuduli “The Grey-Dog Hijras”. Secara keseluruhan berisi tentang perjalanannya keliling Amerika dari sudut ke sudut dengan modal membeli free-pass bis Greyhound selama 60 hari. Meskipun dia bilang tujuannya adalah “menaklukkan Islam di Amerika”, sebenarnya sama sekali tidak ada maksud jahat dalam kata “menaklukkan” di sini. Dia ingin “menziarahi” tempat-tempat yang berkaitan dengan sejarah dan tokoh-tokoh Islam di Amerika. Dia melakukan ini dengan sepenuh hormat kepada tokoh-tokoh yang akan dia ziarahi itu. Kalau sebelumnya dia mengalami disorientasi keimanan karena Islam yang menjadi fundamentalis, tidak ramah keberagaman, dan mengidolakan para ulamanya (mohon diingat, kata “idol” sendiri bisa berarti “berhala” lho... jadi nggak salah kalau ada khatib agak konyol dalam serial “Little Mosque in the Prairie” yang melarang umat Islam menonton American Idol atau Canadian Idol karena sama saja itu dengan pemberhalaan, hehehe... mohon maaf sebesar-besarnya kepada para finalis Indonesian idol, :D). Yang paling atas dalam daftar kunjung Michael ini adalah Master Fard sang pendiri Nation of Islam. Dia menganggap Master Fard yang tidak jelas asalnya dan perginya itu sebagai seseorang yang sangat besar jasanya kepada orang kulit hitam secara umum karena mengajarkan kebanggaan kepada diri mereka sendiri dan berjuang ke arah lebih baik. Selain itu, tentulah karena Master Fard adalah sang penyebar ajaran-ajaran Islam ke kalangan kulit hitam—meskipun kelak menjadi aliran kepercayaan yang dianggap bid'ah oleh muslim secara umum. Dengan berbekal fotokopian dokumen FBI tentang Master Fard setebal ratusan halaman, dan pernyataan Warith Deen Muhammad bahwa Master Fard sebenarnya adalah seorang ulama Ahmadiyyah, dia mulai menelusuri tempat2 yang diperkirakan menjadi asal Fard. Selain itu, Michael juga mengunjungi makam atau tempat-tempat yang berhubungan dengan Islam di Amerika sebelum abad ke-20. Yang termasuk di sini adalah makam Bilali Muhammad di pulau Sapelo, lepas pantai Georgia. Bilali adalah seorang budak muslim yang karena kesetiaannya akhirnya menjadi mandor di perkebunan pulau Sapelo dan tetap menjalankan Islam sampai akhir hayatnya dan menjadi imam bagi budak-budak yang dimandorinya dan bahkan dia sempat menulis buku 13 halaman tentang ajaran-ajaran dasar ibadah Islam semacam wudhu, sholat, puasa dst—yang merupakan dokumen tentang Islam tertua yang ditemukan di Amerika, dari tahun 1820-an.
Bagian ketiga buku ini, “Produk Amerika Tulen” berkisah tentang perjalanannya ke Virginia dan New York. Di Morgantown, Virginia, Michael mengikuti seminar para feminis muslim dan demo melawan masjid Morgantown yang tidak memperbolehkan perempuan masuk lewat pintu utama masjid. Sementara itu, di New York, dia mengikuti sholat Jumat yang diimami dan dikhatibi oleh ibu Amina Wadud, profesor African-American studies dan Islamic studies yang, sebagaimana sidang jamaah milis sekalian ketahui, kelak berkesempatan jadi dosen tamu di Malaysia dan Indonesia.

Sumber: berbagi mimpi
Share this article :

Posting Komentar

SEO Stats powered by MyPagerank.Net
 
Company Info | Contact Us | Privacy policy | Term of use | Widget | Advertise with Us | Site map
Copyright © 2011. Bukan Sastrawan . All Rights Reserved.
Design Template by panjz-online | Support by creating website | Powered by Blogger