News Update :
Home » » Betulkah Acara Sastra Hanya Dihadiri Kalangan Sastra?

Betulkah Acara Sastra Hanya Dihadiri Kalangan Sastra?

Penulis : Rey Yudhistira on Minggu, 31 Oktober 2010 | 11.01


Lampu terang-benderang dalam gedung pertunjukkan itu mulai dimatikan. Digantikan lampu-lampu kecil temaram berwarna hijau, biru, kuning dan merah yang menyala kelap-kelip secara bergantian di langit-langit panggung. Di balik podium, tampak si penyair sedang bersemadi: bersiap-siap membacakan sajak-sajaknya di depan mikrofon.

Suasana hening, sepi dan betul-betul senyap. Sepertinya para penonton tahu betul tentang “etika” dan “tata tertib” tak tertulis saat menyaksikan acara sastra semacam itu.
Ya, itulah dia: penonton sastra. Yang ditonton jelas: acara sastra. Apakah akan menjadi hiruk-pikuk jika yang menonton kebetulan bukan dari kalangan sastra? Tentu tidak seperti itu logikanya. Artinya, penonton di gedung pertunjukan tadi sudah paham betul masalah etika menonton pertunjukan sastra. Maka: betulkan acara sastra hanya dihadiri kalangan sastra?

Sulit menjawab atau mengukur hipotesa seperti itu. Siapakah kalangan sastra? Dan siapakah yang bukan kalangan sastra? Adakah yang berhak menjawabnya? Seseorang yang telah menulis satu-dua buah sajak dan kebetulan dimuat pula di sebuah koran, sudah bisa menyebut dirinya seorang penyair (siapa yang berhak membatalkan?). Juga seseorang yang telah menulis sebuah cerita pendek dan kebetulan dimuat pula, sudah bisa menyebut dirinya seorang pengarang (siapa pula yang bisa membatalkan?).

Pramoedya Ananta Toer dalam surat kepada anaknya Titiek (Astuti Ananta Toer), yang ditulis di Pulau Buru dan dibukukan dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu menulis:

…nama itu tidak lain dari pemberian masyarakat. Nama bukan dicari, dia hanya imbalan. Kalau kau memberikan hasil kerjamu pada seseorang, dan orang itu suka, engkau pun akan mendapat nama dari dia. Nama adalah produk sosial. Juga dibutuhkan ausdauer untuk mempertahankan dan mengembangkannya. […] nama adalah bangunan atas hasil karya. Orang tak perlu mencari-carinya. (hal. 142-143).1

Ada yang mengatakan, sastrawan adalah sebuah gelar. Ia sebuah pemberian berupa pengakuan dari masyarakat. Tentu pengakuan seperti itu tidak serta merta jatuh dari pohon jengkol. Ia melalui berbagai kerja keras, ditolak (redaktur), pengorbanan, serta segala tetek-bengek lainnya yang acapkali disebut: proses. Hingga akhirnya masyarakat pun mengakuinya sebagai seorang sastrawan. Tetapi kemudian muncul pertanyaan: masyarakat yang manakah itu?

Dua ratus orang yang memadati auditorium Centre Culturel Francais Bandung, sudah dapat disebut betapa penuhnya penonton acara tersebut. Tetapi, dua ratus orang yang duduk di kursi Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki Jakarta, tak bisa dielak: betapa lengang peminat pertunjukan yang sedang berlangsung di atas panggung. Dari ramai dan sepi tersebut, siapakah mereka?

Terkadang para pekerja seni (seni apapun itu) kerap lupa: kepada siapakah pementasan di panggung mereka tujukan. Tentu jawabannya bisa bermacam-macam. Ideal yang diinginkan tentu saja bagi masyarakat luas. Tapi siapakah yang dengan niat hati menonton pembacaan sajak si A di gedung A? Siapakah yang datang dengan tulus untuk duduk mendengarkan pembacaan cerpen si B di gedung B? Nyata-nyatanya, pertama dari mereka adalah kawan-kawan si penampil itu sendiri. Kedua, barangkali para peminat sastra (yang bukan kebetulan: para pekerja seni, peminat sastra, ya kalangan sastrawan itu sendiri). Yang ketiga, seorang pekerja kantor yang kebetulan iseng diajak kawannya yang memang peminat sastra untuk iseng nonton pembacaan sajak di suatu gedung pertunjukkan. Mana masyarakat luasnya? Nyaris tak tersentuh.

Saya pernah tertawa terpingkal-pingkal saat kebetulan di suatu senja belanja di toko buku Ampera Palasari Bandung. Saat sedang asyik berbincang-bincang dengan Pak Sas, pemilik TB. Ampera, dan dua orang gadis yang cukup manis yang juga belanja buku di sana, tiba-tiba masuk seorang gadis muda, berkerudung dan melontarkan pertanyaan: “Ada Aku-nya Sjumandjaya nggak?” Dengan cepat pertanyaan itu kutimpali, “Habis nonton film Ada Apa dengan Cinta, ya?” Si gadis muda itu hanya mesam-mesem demi melihat semua orang menoleh ke arahnya. “Enggak, emang lagi cari buku itu kok!” jawabnya menutupi malu. “Cinta juga tanya seperti itu di film AAdC!” lagi-lagi aku menimpali dengan norak.

Terlepas dari si gadis memang mencari (buku) Aku-nya Sjumandjaya setelah melihat film AAdC atau dia memang niat mencari buku itu, terbit perasaan kagum pada si gadis: bahwa persentuhan angkatan muda dengan sastra bisa terpancing dari banyak hal. Contohnya, ya film AAdC itu.

Di film itu persentuhan sastra memang cukup kental, meski bukan hal yang dominan. Kedekatan Rangga (Nicholas Saputra) dan Cinta (Diandra P. Sastrowardoyo) jelas-jelas bermula dari kesukaan mereka terhadap karya sastra. Meski belum ada penelitian secara ilmiah lagi mendalam bahwa: apakah ketertarikan angkatan muda (untuk tidak menyebut ABG) terhadap dunia sastra setelah menonton film Ada Apa dengan Cinta cukup menggembirakan. Kenapa? Mereka melihat sang bintang berenang dalam benang-benang sastra. Bahwa sastra menjadi benang merah, awalan-inti cerita-serta akhiran, begitu menggelumbang. Sastra benar-benar bermain di sana. Dan penonton (yang kebanyakan angkatan muda), mulai tercebur dalam wewangian sastra yang cukup menyengat. Apakah mereka lantas jadi getol menghadiri acara sastra semacam pembacaan puisi atau cerpen setelah menonton flm AAdC, tentu lain lagi persoalannya. Tetapi intinya adalah: sastra datang ke hadapan mereka dengan sebuah menu yang sungguh lezat, yang disajikan dalam nampan cerita yang cukup enak untuk dinikmati sebagai sebuah film.

Mustikah kita menghadirkan seorang artis (yang sudah sangat dikenal oleh masyarakat luas) dalam sebuah pertunjukkan sastra? Tidak mesti juga. Tapi bukan sesuatu yang haram untuk dicoba toh? Peringatan ulang tahun Pramoedya Ananta Toer, 6 Februari 2003 di Jakarta menghadirkan artis Rieke Dyah Pitaloka ke atas panggung. Beberapa saat setelah Pram berorasi budaya, Rieke tampil membacakan cerpen Pramoedya, Lemari Antik, dari buku Percikan Revolusi. Selain artis, Rieke memang bergiat dalam dunia sastra. Tapi saya yakin, bukan karena kegiatan sastra Rieke yang menyebabkan panitia berniat mengundangnya dalam acara sekaliber Pram. Tetapi lebih pada ke-artis-an Rieke-lah ia diundang untuk membaca cerpen malam itu. Karena jika mengundang Rieke yang “nyastra”, siapa sih Rieke dalam dunia kesastrawanan? (Jangan lupa, hal itu terjadi pada tahun 2003). Tapi jelas, Rieke yang artislah yang membuat pembacaan cerpen malam itu terasa menarik. Bagus tidaknya ia membaca cerpen, itu soal lain!

Ketika artis Tamara Blezynski berduet membaca sajak bersama Tabah Panemuan, nyaris yang mendominasi kursi penonton justru kalangan artis itu sendiri. Dari kalangan sastra, mungkin bisa dihitung dengan jari kaki. Sudah sejak jauh hari Tamara dilatih penyair Jose Rizal Manua dalam membaca sajak. Maka, tanpa melihat parameter sukses tidaknya sebuah acara, pembacaan sajak Tamara menggelumbang, dihadiri kalangan artis (mulai artis sinetron sampai artis beneran), serta disiarkan oleh sebuah stasiun TV swasta. Sastra hadir di kalangan mereka. Sebuah usaha menjadikan acara sastra tidak dimonopoli kalangan sastra, baik penampil maupun penonton (sesuatu yang sering terjadi di berbagai pertunjukan sastra).

Cornelia Agatha atau Ine Febriyanti hanyalah contoh nama-nama artis yang memang dipasang dalam sebuah pertunjukan teater, disamping kemampuan akting yang memang betul mereka miliki. Biasanya sang sutradara pertunjukan mengakui dengan jujur, bahwa penempatan mereka sebagai peran utama bukan tanpa alasan. Meski tidak berarti mereka tak melewati tahap casting terlebih dahulu.

Di tahun 90-an sejumlah artis malah sempat tampil membaca cerita pendek dalam sebuah pementasan sastra. Nama Rano Karno atau Desi Ratnasari hanyalah sekadar contoh untuk disebutkan. Belum lagi sederet nama seperti Nurul Arifin, Ria Irawan, aktivis buruh Dita Indah Sari, atau mantan ketua PRD (Partai Rakyat Demokratik) Budiman Sujatmiko, yang membaca sajak-sajak Widji Tukul di Café Salsa, Kemang Raya, Jakarta Selatan, Selasa, 20 Agustus 2002.

Jadi, intinya bukanlah ia artis atau bukan artis. Atau apakah pertunjukan sastra musti menampilkan artis atau bukan artis. Tetapi lebih pada: kepada siapakah sebuah pertunjukan digelar? Melulu ditujukan bagi kalangan sastra itu sendiri, atau memang ingin dinikmati oleh segala lapisan masyarakat (yang bukan sastra)? Ada sebuah petikan menarik yang saya temukan dalam buku Bor, Putu Wijaya:

Para sastrawan adalah visioner-visioner yang akan membuat karya sastra menjadi input-input berharga bagi kehidupan dalam aspek masing-masing. Tetapi berawal dari sastra dan kemudian bergerak ke seluruh sektor kehidupan. (hal 27).2

Jadi, mustikah sebuah pagelaran sastra hanya akan ditonton dan dinikmati oleh (sekadar) kalangan sastra belaka? Memang tak ada yang berniat menyatakan haram saat seorang seniman berkarya untuk dinikmati oleh dirinya sendiri. Tetapi bukankah seorang pelukis yang memamerkan koleksi lukisannya di sebuah galeri, tidak untuk ia nikmati seorang diri? Bukankah seorang pengarang menulis cerita untuk dibaca orang selain dirinya?



Oleh Daniel Mahendra


Share this article :

+ komentar + 5 komentar

31 Oktober 2010 pukul 11.59

saya juga ingin acara sastra dihadiri masyarakat lua ^^

31 Oktober 2010 pukul 22.28

kalo menurut saya acara sastra untuk semua masyarakat bukan hanya untuk kalangan sastra.....

1 November 2010 pukul 13.11

salam kenal mas rahmat..
jangan lupa kunjungan baliknya

Anonim
2 November 2010 pukul 01.41

Blog keren boss semangat terus, semoga kedepannya bisa semakin suksesssss. salam kenal ya gan. mari mengenal keindahan pariwisata lombok utara di http://7og4nk.blogspot.com

2 November 2010 pukul 03.48

salam kenal balik tuk semunya

Posting Komentar

SEO Stats powered by MyPagerank.Net
 
Company Info | Contact Us | Privacy policy | Term of use | Widget | Advertise with Us | Site map
Copyright © 2011. Bukan Sastrawan . All Rights Reserved.
Design Template by panjz-online | Support by creating website | Powered by Blogger