News Update :
Home » » Perkembangan Sastra Kultural Yang Semakin Terpijit

Perkembangan Sastra Kultural Yang Semakin Terpijit

Penulis : Rey Yudhistira on Minggu, 16 Januari 2011 | 01.38


presiasi sastra di negeri ini agaknya masih menjadi sebuah Indonesia yang tertinggal. Dari sekitar 220-an juta penduduk yang menghuni bumi Indonesia bisa jadi hanya sekitar 10% yang memiliki kadar apresiasi sastra yang memadai.


Selebihnya, masih terperangkap dalam pemujaan budaya pop; sebuah budaya yang berkiblat pada penikmatan dunia seni berdasarkan selera massal. Tesis ini memang tidak didasarkan pada hasil survey atau penelitian mendalam.

Namun, kalau kita mau jujur, harus diakui bahwa sastra di negeri ini masih amat dimarginalkan. Lihat saja teks-teks sastra, seperti cerpen atau puisi yang bertaburan di media massa cetak pada setiap edisi Minggu. (Nyaris) teks-teks tersebut hanya sebatas dibaca beberapa gelintir orang saja. Berita-berita perselingkuhan, kekerasan, politik, hukum, olahraga, atau ekonomi, masih memiliki nilai jual tinggi ketimbang cerpen atau puisi.

Tak berlebihan kalau banyak koran yang terpaksa harus menutup rubrik sastra lantaran sepi peminat. Katup bisnis kaum pemilik modal mungkin akan terasa lebih nyaman apabila koran yang dikelolanya memiliki space iklan atau berita-berita bernilai jual tinggi, sehingga tak sedikit pun berkenan menyisakan sedikit ruang kontemplasi melalui lembar budaya dan sastra.

Mengapa apresiasi sastra menjadi demikian penting dipersoalkan? Ya, ya, pertanyaan ini memang bukan hal yang mudah untuk dijawab. Ia (baca: apresiasi sastra) tak bisa disamakan ketika seseorang menyantap hamburger atau menenggak bir yang bisa langsung terasa di kerongkongan atau tenggorokan.

Perangkap budaya pop dan apresiasi sastra yang merana juga tampak jelas di layar kaca dengan berkibarnya sinetron picisan yang suka menguras air mata dan memuja hantu. Kisah yang disuguhkan makin jauh dari realitas dan tidak membumi.

Namun, ironisnya, justru sinetron semacam itu yang disukai penonton. Pengelola stasiun TV agaknya paham benar dengan ledakan budaya massa yang semacam itu, sehingga tak mau melirik kisah-kisah pilihan yang mampu menyuburkan sikap empati penonton.

Entah sampai kapan apresiasi sastra di negeri ini terus terpinggirkan. Dunia pendidikan yang diharapkan mampu menjadi benteng untuk menyelamatkan apresiasi sastra di kalangan generasi masa depan pun agaknya makin tak berdaya akibat demikian kuatnya gerusan budaya pop di tengah-tengah kehidupan masyarakat.

Apakah kita harus berdiam diri dalam liltan selimut hangat di kamar, taukah kita harus bertindak bagaikan mencat es batu? Sungguh ironis perkembangan sastra di Indonesia.



diambil dari berbagai sumber


Share this article :

+ komentar + 12 komentar

16 Januari 2011 pukul 03.19

iya bener, mungkin karena kisah-kisah saat ini lebih mudah dicerna, bahasa penyampaiannya yg simple, mknya lebh diminati.

18 Januari 2011 pukul 09.46

hai :)
how are you guys out there?
maaf baru sempat BW..

19 Januari 2011 pukul 05.25

iya menjadi banyak tercenung dengan dunia pendidikan....yang tengah diarungi ini..........................................................................................................................

23 Januari 2011 pukul 01.17

ia bang maunya pemerintah kita harus memperhatikannya

Anonim
24 Januari 2011 pukul 15.34

bahasa melayu dan bahasa indonesia lebih kurang sama. tapi sometimes macy punya masalah untuk memahaminya.. perlu banyakkan membaca ini. huhu

6 Februari 2011 pukul 15.37

masalahnya bangsa kita ini masih hauus akan hiburan n kebutuhan jasmani terutama masalah peruuut, dan juga tidak menutup kemungkinan pemerintah juga harus turun tangan akan hal ini dan perlu menggalakkan akan hal pendidikan yang ada (sastra , budaya, agama n lainnya)
trims atas infonya, sukses selalu n tetap semangat

7 Februari 2011 pukul 04.39

iya bnerbeneeerrr... mau bikin penelitian sekalian ngga nih? hehe

7 Februari 2011 pukul 22.28

terimakasih sudah meninggalkan jejak di laman saya. bila berkenan silakan mampir lagi :)

8 Februari 2011 pukul 05.09

anak muda jaman sekarang tuh banyak yang ga punya "rasa"
sehingga sastra terabaikan.
lihat aja kalo mereka dikasi tugas dari guru sastra ato guru bahasa Indonesia, pasti mukanya belipet-lipet.

9 Maret 2011 pukul 18.07

kunjungan balik...salam kenal juga
Wah...senang bisa berkunjung kesini, bisa belajar sastra :)

salam hangat

11 Maret 2011 pukul 02.00

tulisan yang bagus
makasih ya udah share..\
kunjungi jg bahan bacaan saya :
jurnal ekonomi andalas

22 Maret 2011 pukul 07.10

kunjungan balik,,, makasih udah mengunjungi blogku
potingan yang cukup menarik, bunda follow ya...

Posting Komentar

SEO Stats powered by MyPagerank.Net
 
Company Info | Contact Us | Privacy policy | Term of use | Widget | Advertise with Us | Site map
Copyright © 2011. Bukan Sastrawan . All Rights Reserved.
Design Template by panjz-online | Support by creating website | Powered by Blogger