News Update :
Home » » Buya Hamka Dalam Pergerakan Islam dan Politik

Buya Hamka Dalam Pergerakan Islam dan Politik

Penulis : Rey Yudhistira on Jumat, 24 Desember 2010 | 21.36


Hamka yang di Maninjau, Sumatra Barat, 16 Februari 1908. Ia lahir dari seorang ayah yang merupakan tokoh gerakan Islam kaum muda Minangkabau yang bernama H.Abdul Karim Amrulloh .Beliau adalah sejarawan,sastrawan Indonesia, sekaligus ulama, aktivis politik dan seorang penulis handal. belakangan beliau diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan buat orang Minangkabau yang berasal dari kata abi, abuya dalam bahasa Arab, yang berarti ayahku, atau seseorang yang dihormati.

Ayahnya adalah Syekh Abdul Karim bin Amrulloh, yang dikenal sebagai Haji Rasul, yang merupakan pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.

Hamka pernah sekolah di Sekolah Dasar Maninjau sehingga kelas dua. Ketika itu usia HAMKA mencapai 10 tahun. Di situ Hamka mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. Hamka juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto dan Ki Bagus Hadikusumo.

Hamka bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padang Panjang pada tahun 1929. Hamka kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu ketika Sukarno menyuruhnya memilih antara menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi).

Buya Hamka yang bergelar Tuanku Syaikh, gelar pusaka yang diberikan ninik mamak dan Majelis Alim-Ulama negeri Sungai Batang – Tanjung Sani, 12 Rabi’ul Akhir 1386 H/ 31 Juli 1966 M, pernah mendapatkan anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar, 1958, Doktor Honoris Causa dari Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974, dan gelar Pengeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia.

Buya Hamka adalah seorang ulama yang memiliki ‘izzah, tegas dalam aqidah dan toleran dalam masalah khilafiyah. Beliau sangat peduli terhadap urusan umat Islam, sehingga tidak mengherankan, di dalam dakwahnya, baik berupa tulisan maupun lisan, ceramah, pidato atau khutbah selalu menekankan tentang ukhuwah Islamiyah, menghindari perpacahan dan mengingatkan umat untuk peduli terhadap urusan kaum muslimin.

Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui organisasi Muhammadiyah. Beliau mengikuti pendirian Muhammadiyah. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929,

Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya meletak jawatan pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.

Kegiatan politik Hamka bermula pada tahun 1925 ketika beliau menjadi anggota partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, Hamka diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia. Beliau menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum 1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, Hamka dipenjarakan oleh Presiden Sukarno karena dituduh pro-Malaysia.

Semasa dipenjarakanlah maka beliau mulai menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, Hamka diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia.

Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, Hamka merupakan seorang wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an. Hamka menjadi wartawan beberapa buah akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.

Selain dikenal sebagai ulama kharismatik, Hamka juga dikenal sebagai pujangga.
Sejak usia 17 tahun, ia sudah menulis roman berjudul Siti Rabiah. Aktivitas tulis menulis itu ditentang oleh keluarganya. Namun Hamka jalan terus untuk mencari jati dirinya dan berusaha keluar dari bayangan nama besar ayahnya.


Pada usia 30-an, ia tak langsung memilih menjadi ulama, meski ia sendiri termasuk muballig muda Muhammadiyah di kota Medan. Ia lebih suka bergelut di bidang jurnalistik. Bersama Abdullah Puar, pada tahun 1936 ia mendirikan majalah Pedoman Masyarakat di kota Medan. Di majalah inilah ia menulis tulisan bersambung yang di kemudian hari menjadi buku Tasawuf Modern yang terkenal itu, ia tetap saja dikenal.

Pada periode ini, tulisan Hamka yang mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al Azhar Mesir tahun 1958 ini sudah lebih banyak berupa kajian-kajian keIslaman yang mencakup seluruh bidang. Setelah peristiwa 1965 dan berdirinya pemerintahan Orde Baru, Hamka secara total berperan sebagai ulama. Ia meninggalkan dunia politik dan sastra. Tulisan-tulisannya di Panji Masyarakat sudah merefleksikannya sebagai seorang ulama yang sangat bagus penuturannya. Keulamaan Hamka lebih menonjol lagi ketika dia menjadi ketua MUI pertama tahun 1975.

Hamka dikenal sebagai seorang moderat. Paling tidak bisa dilihat dari cara dia menyampaikan sesuatu yang selalu menempatkan hati dan pikiran dalam satu posisi yang sama berharganya. Tidak pernah dia mengeluarkan kata-kata keras, apalagi kasar dalam komunikasinya. Hal ini sudah ia tunjukkan dari sejak muda. Ia lebih suka memilih menulis roman atau cerpen dalam menyampaikan pesan-pesan moral Islam. Hamka yang bergelar Datuk In Domo ini mengakui bahwa memang dia menjadi lebih moderat ketika usianya bertambah.

Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck.

Hamka pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan antarabangsa seperti anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas al-Azhar, 1958; Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974; dan gelar Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia.

Buya Hamka berpulang ke Rahmatullah, 24 Juli 1981, telah meninggalkan warisan dan pelajaran yang sangat berharga untuk ditindak lanjuti oleh genarasi Islam, yaitu istiqamah dalam berjuang, menjaga persatuan umat dan peduli terhadap urusan kaum Muslimin.





Share this article :

+ komentar + 9 komentar

25 Desember 2010 pukul 00.19

wah...saya baru tau tokoh yang satu ini kawan....
warisan yang ditinggalnya memang perlu kita tindak lanjuti, apalagi seperti saya selaku umat muslim....

terimakasih banyak atas infonya...

25 Desember 2010 pukul 00.34

Terima kasih, aku jadi makin mengenal seorang Buya Hamka. Seorang tokoh yg sangat besar yg pernah dimiliki bangsa ini.

25 Desember 2010 pukul 00.37

Siapakah kini 'penerus' beliau ?

25 Desember 2010 pukul 04.24

HAMKA dengan segala karya ciptanya akan senantiasa melegenda di bumi pertiwi Indonesia ..

25 Desember 2010 pukul 08.12

Buya Hamka emng sosok yg pentih bagi kebangkitan bangsa Indonesia...

25 Desember 2010 pukul 08.42

wah makasih brooo, jadi tambah pengetahuan mengenai buya HAMKA

27 Desember 2010 pukul 22.17

Nggak ada gantinya........ Saya kagum sama beliau. Keluarga saya adalah penggemar Buya Hamka. :) Papaku masih menyimpan beberapa Majalah Panji Masyarakat dan buku-buku Buya Hamka.

2 Januari 2011 pukul 02.37

Buya Hamka tokoh muhamadiyah yang kharismatik yang bisa diterima berbagai golongan yang mengedapankan ukhuwah islamiyah

25 Februari 2011 pukul 03.58

Terima kasih saudaraku, aku tersemangati oleh tulisan ini... Salam kenal.. terima kasih sduah berkunjung
http://www.mukhlis.web.id

Posting Komentar

SEO Stats powered by MyPagerank.Net
 
Company Info | Contact Us | Privacy policy | Term of use | Widget | Advertise with Us | Site map
Copyright © 2011. Bukan Sastrawan . All Rights Reserved.
Design Template by panjz-online | Support by creating website | Powered by Blogger